Dewasa
ini tampak semakin banyak wanita yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja.
Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi,
mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak
pula para wanita yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidaklayakan
perlakuan. Diantaranya cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang
layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual. Lalu bagaimana
Islam memandang permasalahan ini ?
A. Wanita Bekerja, Bolehkah ?
Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Artinya pria dan wanita diciptakan memiliki cirri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu pria maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum
ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja),
maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita.
Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria,
karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam
telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung
jawab pria. Dengan demikian wanita tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari
nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Wanita justru
berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila wanita tersebut telah menikah)
atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi
orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan
lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab
nafkah wanita tersebut kepada Daulah (Baitul Maal). Bukan dengan jalan
mewajibkan wanita bekerja.
Kalau begitu, bolehkah wanita
bekerja ? Masih perlukah ia mencari nafkah dengan bekerja ?
Sekalipun wanita telah dijamin
nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak
membolehkan wanita bekerja untuk mendapatkan harta/ uang. Islam membolehkan
wanita untuk memiliki harta sendiri. Bahkan wanita pun boleh berusaha
mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman : “… Bagi
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja wanita harus tetap
terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia bekerja.
Artinya wanita tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam
bekerja. Wanita juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan
kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek
bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru wanita
harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja,
karena hukum bekerja bagi wanita adalah mubah. Dengan hukum ini wanita boleh
bekerja dan boleh tidak. Apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan
perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat
maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah
mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia
melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika
kelaur rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa ketika Allah
Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga
telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan
baik. Sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia
serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya. Sebaliknya bila
tugas pokok bagi kaum wanita ini tidak terlaksana dengan baik, tentu akan
mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin
terlaksanya tugas pokok wanita ini ada yang berupa rincian hak dan kewajiban
yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan janin yang
dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh
bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya). Ada pula yang
berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak
wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan
Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang berupa
penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua ini
bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan wanita dalam
menjalani kehidupan ini, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.
Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi wanita
dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada
prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak
adanya penetapan prioritas tersebut.
B. Dimanakah Wanita Akan Bekerja ?
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri. Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan suatu keharusan yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.
Namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu
saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa
jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila
ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah
masyarakat. Bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua
manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan
Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang
boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain
dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak
dilarang untuk memiliki harta.
Tatkala bekerja itu memiliki wujud
yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya beragam dan hasilnya
berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak
untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’
(kontrak tenaga kerja).
Apabila kita telaan secara mendalam,
hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria
maupun wnaita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai
ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai
musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi ijaroh hanya boleh
dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi
pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh
dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru
(pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa
(peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan
membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat ;
menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam
kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita
sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal
dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja
mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus
tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia
memutuskan untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan
yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila setiap muslim yang bekerja
(termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap
demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi,
sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad).
Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh. Bahkan
majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa jasa para buruh,
usahanya tidak dapat berjalan apalagi berkembang. Dengan demikian para buruh
wanita tidak akan terjerumus pada polemik yang berkepanjangan dalam ketidak
layakan kerja.
Sulitnya dalam kondisi seperti
sekarang ini, dimana situasi perekonomian didominasi oleh Kapitalis, posisi
tawar buruh di hadapan majikan sangat rendah. Sebab banyak kelompok pencari
kerja yang bekerja hanya demi sesuap nasi, akibat rendahnya tingkat
kesejahteraan rakyat. Akibatnya para buruh (termasuk buruh wnaita) tidak bebas
memilih jenis pekerjaan dan situasi bekerja yang dikehendakinya. Oleh karena
itu agar posisi tawar buruh tetap tinggi di hadapan majikan dalam memilih jenis
dan bentuk pekerjaan, situasi bekerja, dan lain-lain, maka para buruh harus
senantiasa berusaha meningkatkan keahliannya agar orang lain membutuhkannya. Ia
sendiri yang harus menciptakan pasar bagi jasanya. Ini usaha yang dilakukan
secara individu.
C. Pengaturan Sistem Interaksi Pria
dan Wanita
Tatkala wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Oleh karena itu harus difahami bahwa interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam system kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan bidangnya.
Pengaturan sistem interaksi ini
merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada
wanita saat ia bekerja. Dengan demikian Islam sejak awal telah menjaga agar
kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya dalam
kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system interaksi pria dan
wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
1. Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu :
• Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat.
• Menahan diri dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam
QS An Nur 31 “Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
2. Diperintahkan kepada wanita untuk
mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di
luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59).
“… dan hendaklah mereka menutupkan
khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS
24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).
Yang dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua kaki.
Yang dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua kaki.
3. Dilarang berkhalwat antara pria
dan wanita.
Sabda Rasulullah Saw “tidak boleh berkhalwat antara laki-laki dengan wanita kecuali bersama wanita tadi ada mahram”
Sabda Rasulullah Saw “tidak boleh berkhalwat antara laki-laki dengan wanita kecuali bersama wanita tadi ada mahram”
4. Dilarang bagi wanita bertabarruj
(menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan
mahromnya).
Sabda Rasulullah Saw “barang siapa seorang wanita yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan kaum laki-laki, sehingga tercium bau wanginya, maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
Sabda Rasulullah Saw “barang siapa seorang wanita yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan kaum laki-laki, sehingga tercium bau wanginya, maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
5. Dilarang bagi wanita untuk
melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi
kewanitaannya.misalkan, pramugari, foto model, artis, dsb.
6. Dilarang bagi wanita untuk
melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
Sabda Rasulullah Saw “Tidaklah halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
Sabda Rasulullah Saw “Tidaklah halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7. Dilarang bagi wanita bekerja di
tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah Islam mengatur sistem
interaksi pria dan wanita. Semua itu ditetapkan oleh Islam tidak lain adalah
untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum
muslimin.
Dewasa ini banyak di kalangan wanita
(termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja). Walaupun upah yang mereka
terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima juga tidak layak, namun
dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat.
Keadaan ini memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi.
Dominasi alam Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para
buruh wanita (masyarakat secara umum).
Sesungguhnya seorang muslim, siapapun dia, dan dalam posisi apapun kedudukannya di tengah masyarakat, tetap terbebani kewajiban melaksanakan aturan-aturan yang diperintahkan Allah Swt. Namun kembali lagi kepada seluruh kaum muslimin, merekalah yang harus mengembalikan agar warna sistem ini sesuai dengan apa yang diridhai Allah Swt. Perjuangan ini memerlukan pengorbanan yang besar dari berbagai pihak secara bersama. Maka dakwah untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam adalah langkah yang nyata mewujudkan cita-cita ini.
Bagi para muslimah, hendaknya mereka
berusaha sekuat kemampuannya melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah
disyariatkan Allah Swt dengan menjalankan seluruh kewajiban sebaik-baiknya
(termasuk mengemban dakwah tadi). Menghilangkan berbagai motivasi dan tujuan
yang hanya disandarkan pada materi, manfaat dan berbagai unsur lain selain dari
keridhaan Allah Swt. Menempatkan keridhaan Allah Swt sebagai unsur tertinggi,
yang dengan hal tersebut akan dapat diraih derajat yang mulia disisiNya.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar